Mengendalikan Emosi

2:22 AM


Setelah menikah, saya memiliki satu masalah yang sebelumnya tak terpikirkan oleh saya, yaitu me-manage tingkat emosi saya. Anger management istilah kerennya. Dan karena sebelumnya saya tidaklah se-emosi sekarang ini, seringkali saya berusaha menyelami penyebab dan akar permasalahannya, berharap bisa mengurai satu-persatu dan bisa memperbaiki sisi yang bisa saya perbaiki. Namun seringkali, kemudian yang terjadi adalah saya menemukan kesalahan orang lain, mempersalahkan orang lain. Walaupun mungkin benar adanya, tapi menyelami ke belakang malah membuat saya tak mampu memaafkan. Saya terjebak dalam lingkaran kebencian yang saya simpan. Mungkin tidak secara sadar saya simpan, tapi karena kemampuan memaafkan yang terbatas, seringkali alam bawah sadar menyimpannya--terus menerus.

Hingga kemudian, saya berpikir tak ada gunanya lagi melihat ke belakang dan mencari penyebab. Ibarat sungai yang kotor, penuh sampah, daripada menelusuri siapa si pembuang sampah, lebih baik segera membersihkannya. Dan saya berusaha sejak saat itu, walau terkadang tidak berjalan dengan mulus. Perlu waktu dan terkadang dipengaruhi juga oleh kondisi fisik dan pikiran yang terlalu lelah, namun saya berusaha. Terus berusaha.

Seperti kata Suster pembimbing saya ketika saya mengikuti salah satu sesi mengendalikan emosi, bahwa me-manage emosi itu perlu latihan. Bukan sekali-dua kali, namun terus-menerus. Levelnya pun bisa berbeda-beda. Dan seperti sekolah, semakin bertambah level kita, ujian akan semakin sulit. Itu saya rasakan dan buktikan sendiri. Dan tidak jarang nilai saya jeblok di beberapa ujian. Tapi bukankah kita terlahir untuk tidak mudah menyerah? Ya, jika dengan mudahnya kita menyerah dengan berdalih "saya memang orangnya emosian", bukankah berarti kita sudah menyerah pada situasi yang menuntun perilaku kita? Kita hanya reaktif pada keadaan. Tapi tidak bisa memutuskan sendiri reaksi yang terbaik untuk diri kita. Bukankah itu perilaku seorang pecundang? Tentu saya tak ingin terus-terusan di level pecundang.

Salah satu cara yang diajarkan adalah dengan menutup mulut rapat-rapat ketika mungkin dihadapkan dalam kondisi berdebat. Menyudahi perdebatan mengurangi efek lebih jauh. Cara lain adalah menjauhi terlebih dahulu, hingga emosi hilang, baru kembali mengurai permasalahan. Dan salah satu yang diajarkan oleh Suster adalah dengan berdoa. Doa yang menentramkan. Doa dengan meditasi bisa membawa kelegaan tersendiri. Mengusir energi-energi negatif yang berpotensi membawa segala macam penyakit. Ya, setiap kali emosi saya kambuh, biasanya saya pasti menderita migrain atau diare. Itu yang saya hindari. Yang emosi kita, yang sakit ya diri kita sendiri. Masih mending efeknya masih sesederhana itu. Bukan tidak mungkin efek yang lebih parah akan terjadi jika emosi terus dipupuk subur.

Dan hari ini, walau dengan berat dan letih membawa beban saya, saya berusaha berdiri. Dan mengatakan, saya ikhlas dengan segala yang ada. Saya tak ingin menoleh ke belakang dan mengais harga diri saya, biarkan Tuhan yang menilai. Saya ingin menjadi pribadi yang bebas dari kemarahan dan emosi yang menggebu. Semoga.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe