Momen paling sering terjadi pada saat bertemu orang yang baru mengenal saya adalah ketika mereka tidak bisa menebak usia saya. Mungkin karena postur tubuh saya yang mungil, dan pipi saya yang lumayan bulet dan empuk, membuat saya terlihat lebih muda dari usia saya yang sebenarnya. Walaupun saat ini usia saya sudah kepala 3, tapi tidak jarang saya disangka anak kuliahan. Bingung juga ketika ditanya kuliah di mana, sementara saya udah ga kuliah lagi. Tapi walau demikian tetap saja dengan pikiran rada jahil saya jawab nama kampus tempat saya kuliah dulu, dengan tidak memberikan informasi saya angkatan berapa. Cukup dengan menjawab angkatan tua saja sudah membuat mereka mengira usia saya lebih muda beberapa tahun koq, haha. Dan di sini ada beberapa momen yang cukup untuk membuat saya senyum-senyum sendiri ketika mengingatnya.
1. Ketika bertemu seorang Bapak di servis laptop
Suatu ketika, laptop saya mati total. Padahal semua data ada di situ. Jadi dengan putus asa saya membawanya ke service center berharap ada yang bisa saya selamatkan.
Saat duduk menunggu giliran dipanggil, seorang bapak di sebelah saya menyapa saya.
"Mbaknya kuliah di mana?", tanyanya spontan. Saya rasa mungkin ia memperhatikan penampilan saya yang santai, hanya mengenakan kaos, jeans, jaket dan tas ransel berisi laptop. Khas seorang mahasiswi.
"Oh saya sudah lulus, Pak", jawab saya sambil tersenyum.
"Ohh, dulu kuliah di mana? Ambil jurusan apa?", tanyanya lagi.
"Di Sanata Dharma, Pak. Saya ambil jurusan Teknik Informatika", jawab saya lagi.
"Oh sekarang kerja di mana?", bapak ini masih meneruskan sesi tanya jawabnya. Saat itu saya belum bekerja lagi karena bayi saya baru berusia beberapa bulan. Saya sengaja resign untuk memberi waktu penuh mengurusi bayi saya.
"Sekarang belum kerja, Pak", jawab saya singkat. Saya malas menjelaskan bahwa saya resign karena alasan bayi saya tersebut.
"Wuah, kalau begitu boleh nanti saya infokan kalau ada lowongan pekerjaan. Saya dulu kerja di Kaltim. Mbaknya asli mana?", Bapak ini terlihat sangat antusias tahu saya belum bekerja. Dan di sini saya semakin yakin bapak ini salah menilai saya. Pasti dikira saya baru lulus dan belum pernah bekerja.
"Oh iya, Pak. Saya asli Kalbar, Pak. Ibu saya dayak asli", jawab saya. Ada sinyal ia akan mengaitkan dengan keberadaannya yang dulu pernah di Kaltim.
"Wuah pantas mbaknya putih sekali. Orang Dayak rupanya. Saya di sana selama X tahun, wajah mbaknya terlihat familiar", tuh kan benar bapak ini membicarakan orang Dayak. Padahal darah saya sudah bercampur dengan orang Jawa, karena papa saya orang Magelang. Saya hanya menanggapinya dengan tersenyum.
"Di sini tinggal sama siapa?", nah ini dikira saya ngekos kali ya.
"Sama keluarga, Pak", jawab saya singkat. Setelah saya ingat-ingat semakin banyak saja pertanyaannya. Saya jadi penasaran, andai ia tahu usia saya sebenarnya...
"Keluarga dari bapak atau dari ibu?", tanyanya lagi.
"Bukan, Pak. Sama suami dan anak saya...", jreng-jreng! Hening...
Dan tahu apa reaksinya? Ia hanya menjawab dengan "Ooohh", dan tak ada lagi pertanyaan lanjutan.
2. Ketika dirazia Polisi
Saat anak saya masih bayi, saya pernah mencoba untuk bekerja freelance. Dan suatu ketika, saya menemui salah satu calon klien saya. Memang nasib sedang kurang mujur, saya lupa kalau SIM saya sudah mati beberapa hari sebelumnya. Lebih tepatnya ga tahu karena ga pernah ngecek. Jadi ketika ada razia motor, dengan santai saya ikut minggir dan menunjukkan identitas saya. Tak dinyana, bagai seorang ayah nge-gap anaknya melakukan kesalahan fatal, sang polisi sambil tersenyum-senyum mengatakan bahwa SIM saya sudah mati. Spontan saya kaget, deg-degan juga berharap saya membawa uang tunai, kalau ngga haduh males banget harus ke ATM segala dan balik lagi. Dan ketika sang polisi sedang menulis surat tilang untuk saya,
"Mbaknya ga tau ya kalau SIMnya mati?", tanyanya menginterogasi.
"Iya, Pak. Saya benar-benar baru tahu sekarang ini. Tau gitu kemarin saya bikin perpanjangan sebelum pergi-pergi", jawab saya sok merasa bersalah.
"Hmmm, ini surat tilangnya. Bayar di sini apa di pengadilan?", tanyanya lagi.
"Di sini aja, Pak", jawab saya singkat sambil memberikan uang yang diminta.
"Mbaknya kuliah di mana?" Buset ini pertanyaan bisa nyasar aja ga ada ujung pangkalnya.
"Di Sanata Dharma, Pak", jawab saya sekenanya.
"Angkatan berapa? Ngekos di mana?", waduh malah nanya kosan segala.
"Angkatan tua, Pak. hehe. Mari, Pak. Permisi....", jawab saya sambil melengos pergi sebelum si pakpol nanya no HP saya.
3. Ketika masuk kerja di kantor baru
Cerita ini agak sedikit melegenda karena sering dijadikan bahan tertawaan ketika dibahas di kantor saya terdahulu. Dan ketika dibahas, seringkali si aktor cerita ini mesem-mesem sendiri dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain saking malunya. Hahaha..
Jadi ceritanya, ketika saya masuk kerja di kantor tersebut hanya beberapa orang yang tahu usia saya dan pengalaman kerja saya sebelumnya. Dan karena sebelumnya saya bekerja di bagian Backend kemudian pindah ke Front End, otomatis banyak hal baru yang belum saya ketahui dan masih harus dibimbing. Mungkin itu sebabnya salah seorang sebut saja namanya Andi, mengira saya baru lulus kuliah karena pengalaman di bidang itu masih minim. Ia bahkan dengan sukarela membimbing dan memberi beberapa tutorial untuk saya supaya saya cepat beradaptasi.
Dari yang tadinya membantu membimbing saya, malah kemudian si Andi ini nanya-nanya seperti rumah saya di mana, dulu kuliah di mana, dan hal-hal yang bersifat pribadi seperti no HP dan pin BB.
Padahal si Andi ini tahu halaman facebook saya yang menulis status married to XXX dan di BBM messenger saya pasang DP foto bersama dengan bayi saya. Jadi saya pikir ia sudah cukup tahu tanpa saya harus memberitahu secara langsung. Namun tak disangka ketika hari ulang tahun saya--seperti biasa di kantor selalu ada ritual memberi ucapan selamat dengan kue tart dan acara tiup lilin--ada sebuah percakapan yang saya masih ingat persis.
"Emang umurmu berapa? Koq malah dipasang 99 di kue tartmu?", ini emang ulah salah satu teman yang mungkin supaya tidak menunjukkan kadar ketuaan saya jadi dia pakai lilin 99 sebagai salah satu dekorasinya.
"Hahaha, umurku 29 koq", jawab saya jujur. Saya yakin dia masih agak sedikit shock begitu tahu usia saya yang ia kira masih fresh graduate itu.
"Oyah?"..ia diam sejenak namun dilanjutkan dengan sebuah gumaman..."Harusnya umur segitu udah nikah donk...", katanya lagi.
Saya diam beberapa saat dan menatapnya. Sejurus kemudian, saya berpaling pada bos saya dan berkata, "Bos, dia ga tau kalau saya udah nikah...", kata saya sambil tersenyum.
Si bos dengan santai menjawab di balik senyumnya, "Dia udah punya anak kaleeee...", katanya menimpali.
Dan si Andi bengong sekaligus salah tingkah disambut gelak tawa karyawan lainnya.
"Kirain kamu udah tahu, kan aku pasang DP sama anakku. Di FB juga aku pasang status married", di sela-sela tawa saya jadi penasaran.
"Kirain itu ponakanmu ato adekmu gitu. Trus di FB kirain kayak anak-anak alay gitu belum married tapi pasang status gitu", katanya membela diri. "Lagian kamu ga pake cincin kawin?!", imbuhnya lagi.
"Lha ini!", kata saya sambil menunjuk cincin yang terpasang di jari tengah sebelah kiri. Cincin yang saya pakai terlalu besar untuk jari manis sebelah kanan.
"Lha koq dipake di kiri?", ia masih bertanya.
"Kegedean je di kiri...Hahaha"...
"Ooohhhh...."
"Kirain kamu udah tahu, kan aku pasang DP sama anakku. Di FB juga aku pasang status married", di sela-sela tawa saya jadi penasaran.
"Kirain itu ponakanmu ato adekmu gitu. Trus di FB kirain kayak anak-anak alay gitu belum married tapi pasang status gitu", katanya membela diri. "Lagian kamu ga pake cincin kawin?!", imbuhnya lagi.
"Lha ini!", kata saya sambil menunjuk cincin yang terpasang di jari tengah sebelah kiri. Cincin yang saya pakai terlalu besar untuk jari manis sebelah kanan.
"Lha koq dipake di kiri?", ia masih bertanya.
"Kegedean je di kiri...Hahaha"...
"Ooohhhh...."
4. Ketika pergi kondangan bersama suami
Perbedaan paling mencolok di usia pernikahan kami yang menginjak 5 tahun ini adalah saya masih dianggap tidak banyak berubah dibanding sebelum menikah sementara suami saya sudah nyolong start semakin bijaksana dalam urusan penampilan alias semakin terlihat ke-bapak-annya. Perutnya yang semakin maju memberi indikasi akan kemakmurannya sekaligus usianya. Padahal usia kami hanya terpaut 1 tahun.
Dan suatu ketika, saat kami menghadiri acara pernikahan salah satu teman kantornya, ada satu peristiwa lucu yang masih saya ingat. Kebetulan saat itu baru kali pertama saya bertemu dengan banyak teman-teman kantornya. Saya yang saat itu sibuk momong anak saya yang sudah bisa mulai berjalan, tidak banyak berbaur dengan teman-temannya. Jadi saya membiarkan suami saya ngobrol bersama temannya, sementara saya yang sudah selesai menyantap hidangan prasmanan lebih memilih berada di luar, kebetulan acaranya diadakan di sebuah gedung yang berbentuk rumah joglo. dengan halaman luas. Cukup untuk memberi ruang anak saya berlari ke sana ke mari mengusir rasa bosan.
Tiba-tiba, di sela-sela itu suami saya mendekati saya,
"Asem ik, moso aku dikira nikahin daun muda...", katanya menggerutu.
"Hahaha, emang kenapa, Pa?" kata saya tergelak.
"Iya, masa umurku dikira dan 35an, tapi Mama baru 25an. Jadi disangka Om-om sama daun muda", jelasnya pada saya, masih dengan mulut mengunyah potongan buah.
"Cie yang udah Om-om", puji saya disambut gerutuannya lagi. Hahaha.
"Husss..Mama ini seneng yah kalo disangka awet muda...", imbuhnya lagi. Ya jelas! Hahaha.
Mungkin itu saja yang bisa saya ceritakan. Lumayan sebagai pengingat di kala suatu hari saya berselancar di halaman ini lagi. Lain kali jika bertemu momen serupa akan saya beberkan lagi di blog ini. :D