Rokok dan Toleransi
12:43 AM
Saya sempat mangkel beberapa hari lalu. Cukup membuat saya uring-uringan selama beberapa hari. Sedikit teringat hal itu jadi ngomel-ngomel sendiri ga karuan. Seolah itu masalah besar, yang saya rasa bagi sebagian orang itu hal biasa nyerempet ke level sepele. Kacamata mereka berbeda dari saya. Atau saya yang terlalu berbeda? Mari dibahas.
Di depan rumah saya, kebetulan baru akan dibangun kampus. Dan karena lahan tersebut masih berupa sawah dan baru ditimbun, otomatis tak ada tempat bagi para pekerjanya untuk berisirahat. Dan karena rumah kami persis di depannya, dengan halaman luas tanpa pagar, mereka menjadikan teras rumah kami sebagai basecamp awal mereka.
Saya sendiri dari awal tidak suka. Bukan karena saya pelit meminjamkan tempat, tapi saya tahu persis pekerja tersebut pasti merokok. Dan ketika mereka meminta ijin pada suami saya, saya sudah wanti-wanti untuk selalu menutup pintu garasi bila mereka sedang di teras depan.
Rupanya mbak yang bersih-bersih rumah saya tidaklah paham akan hal ini. Garasi depan kebetulan cukup luas dan dijadikan tempat untuk menjemur baju dan menyetrika. Dan dengan santainya ketika siang hari mereka beristirahat dan si mbak menyetrika, pintu garasi tetap dibuka. Pantas saja beberapa baju tercium seperti ada campuran asap rokok yang berbaur dengan pewangi pakaian. Saya pikir memang aromanya seperti itu. Tapi itu sebelumnya, ketika kami semua pergi, ketika suami dan saya sendiri bekerja di kantor dan putri saya dititipkan di mertua saya.
Saya baru benar-benar tahu kondisi ini ketika saya sudah tidak bekerja di kantor lagi. Ada pintu antara ruang dalam dan garasi. Jadi ketika saya masuk ke ruang garasi, aroma rokoknya begitu pekat, persis seperti berada di dalam sebuah 'night club'. Saya mengendus beberapa baju yang dijemur. Dan ternyata semua beraroma menyebalkan, persis aroma akik-akik dengan tembakau ekstra. Saat itu si mbak sudah pulang. Saya tahu sebelumnya si mbak menyetrika dengan pintu garasi dibuka dan beberapa pekerja beristirahat bahkan tidur-tiduran di teras rumah. Seketika semua baju yang dijemur saya masukkan kembali ke mesin cuci. Tentu saja dengan aktif mengomel.
Spontan saya langsung mengontak suami saya dan menyampaikan kekesalan saya. Suami saya merespon juga dengan nada marah. Pasalnya beberapa hari sebelumnya, ketika para pekerja itu bersiap mulai bekerja dan saling menunggu rekannya di teras rumah kami, suami saya sudah menegur untuk tidak merokok di teras rumah. Rupanya hal itu tidak diindahkan.
Esok harinya, saya meminta suami saya untuk menempel tulisan larangan merokok di depan rumah. Dan beberapa hari kemudian, bapak mertua saya yang melapor katanya tidak ada lagi pekerja yang mau duduk di teras rumah. Ya bagus deh, batin saya. Lebih baik kalau mau merokok jauh-jauh dari rumah saya. Jangan udah menumpang, malah juga menitipkan penyakit bagi keluarga kami. Untuk ini saya rela ribut dan pasang badan bagi keluarga saya.
Namun hal ini tidak berlangsung lama sepertinya. Ketika saya masuk ke garasi beberapa hari kemudian, tetap saja aroma rokok itu hadir lagi. Yang padahal beberapa hari sebelumnya aromanya sudah cukup berkurang. Sempat terpikir di benak saya untuk sekali-kali mengusir dengan kasar para pekerja itu. Tapi saya berpikir dua kali, daripada kemudian keluarga kami lebih tidak tenteram, karena pastinya beberapa pekerja di situ bukanlah orang terdidik dan cenderung anarkis. Saya tidak ingin malah menambah masalah baru. Kecuali mungkin suatu saat nanti habis batas kesabaran saya.
Dan ya, kemudian kembali ingat dengan permasalahan yang juga banyak tersebar di media sosial, di mana banyak perokok yang memang tidak memiliki rasa toleransi ini. Dikiranya, asap yang ia hisap itu hanya untuk dirinya sendiri. Dan sebegitu fanatiknya, hingga tak perduli dengan orang di sekitarnya yang terganggu. Dan ketika ditegur yang ada malah nyolot balik. Sungguh menyebalkan bertemu dengan manusia seperti itu. Mungkin baru akan sadar ketika tubuh sudah digerogoti penyakit akibat rokok tersebut. Semoga... (eh jahat banget doanya...)
0 comments