Hidup, Masalah, dan Titik Nol
7:38 PMSalah satu yang bisa membuat saya galau dalam suatu waktu adalah ketika saya ingat belum membaca satu buku hingga selesai. Rasanya ada sesuatu yang belum dituntaskan. Masih berputar-putar di kepala mencari jawaban. Mencari kepastian. Dan buku yang belum saya selesaikan itu salah satunya adalah karangan Agustinus Wibowo, "Titik Nol". Saya tertarik membeli buku ini setelah sebelumnya membaca review dari para penggemarnya. Buku yang layak mendapat banyak bintang.
Nyaris setahun lalu buku ini menghiasi koleksi bacaan saya, bahkan setengahnya pun belum saya buka. Berat, buku ini sarat makna. Ketika saya tak mampu menemukan maknanya, saya kembali ke awal, menyusun kembali puzzle-puzzle pesan yang tersirat di dalamnya. Namun seringkali saya kehilangan arah, saya membaca sambil lalu, saya kehilangan imajinasi saya. Semua karena saya membaca tidak pada suatu waktu, yang seharusnya terus tanpa jeda. Dan ini membuat saya harus me-rewind lagi ingatan saya. Agak sedikit frustasi memang, dan inilah yang membuat buku ini tak semudah yang saya bayangkan.
Namun ada satu makna yang masih selalu saya ingat dari cerita buku Titik Nol ini. Yaitu ketika si penulis, Agustinus Wibowo ini pulang kembali ke kota asalnya, menemukan ibunya terbaring di rumah sakit, kanker stadium akhir, ia tersadar bahwa semua seketika tanpa arti. Segala panji-panji kejayaannya tentang menjadi penakluk wilayah konflik, berkali-kali menyerempet maut, hingga merilis beberapa buku, hasil petualangannya, namun semua seketika tak lagi pantas ia banggakan.
Ia tak berdaya menolong ibunya. Penyakit itu lebih ganas dari tantangan yang ia temui selama 10 tahun perjalanannya. Salah satu cerita yang ia ungkapkan adalah bagaimana sang ibu, dengan usus yang sudah digerogoti penyakit tersebut, tak lagi bisa makan apapun. Semua yang masuk pasti kembali lagi. Sungguh tersiksa ketika ada makanan tapi tak bisa menikmatinya. Dan penulis membandingkan dengan keadaan dirinya ketika berada di wilayah konflik, tanpa makanan, nyaris mati di tengah petualangannya. Tapi ia masih mampu bertahan hidup, dengan mengerahkan segala logika dan kemampuannya. Tapi ini, bahkan dokter pun menyerah. Ia sendiri bisa apa? Hanya menemani, menunggu, bercerita tentang petualangannya yang ia kemas layaknya dongeng. Berdongeng untuk ibunya seperti saat ia dulu masih kecil, yang sebelum tidur menikmati setiap cerita yang dibacakan sang ibu.
Saya sendiri jadi ingat ketika suami saya pernah mengalami sakit kanker beberapa tahun lalu.
Seketika masalah apapun jadi menciut. Tak terpikirkan oleh saya bahwa selama ini saya hanya berpikir akan hal-hal dangkal. Ketika mengeluhkan menu makanan sederhana yang itu-itu saja, saya jadi sadar bahwa bisa makan saja sudah lebih dari cukup. Ketika mengeluhkan tentang penampilan hanya begitu-begitu saja, karena banyak hal yang harus dipenuhi, saya jadi sadar bisa sehat saja itu lebih dari cukup. Ketika mengeluhkan tentang rumah, mobil, perabotan, sekolah anak, keuangan, semua-semua itu tidak lagi berarti, karena bisa menonton tv bersama saja itu sudah lebih dari cukup. Kebersamaan saja itu sudah lebih dari cukup, ketimbang terpisah, suami saya di rumah sakit, anak saya di rumah, dan saya harus membagi waktu antara anak dan suami saya.
Dan pagi ini, saya mengeluhkan tentang pekerjaan saya yang rumit, yang saya sendiri kebingungan tujuh keliling, dan mendadak rasanya ingin menenggelamkan diri di balik bantal, selamanya. Saya stuck. Saya merasa yang saya hadapi ini cukup berat. Tapi apakah ini cukup berarti untuk terus membuat saya frustasi? Saya jadi ingat seorang teman pernah berkata, jika kau memiliki sebuah masalah dan kau merasa masalah itu sangat berat, sempatkan dirimu untuk melihat langit malam, dan pandanglah bintang-bintang. Kau akan melihat bahwa bintang itu sangat kecil, lebih kecil dari ujung kukumu. Padahal bintang itu 'realnya' sangatlah besar. Bahkan kau tak mampu membayangkan seberapa besarnya. Begitu juga dengan permasalah hidupmu. Mungkin yang kau lihat, permasalahan hidupmu itu sangat besar, dan masalah orang lain kecil. Tapi itu hanya sudut pandangmu, kau tak pernah tahu jika tidak mengenakan sepatu mereka.
Ya, dan satu lagi mood booster pagi ini, saya mampu melewati hari ini mesti berat.
Just do the best, and let God do the rest.
0 comments